UNM Dukung Petani Dusun Matanre Bangun Irigasi Otomatis untuk Cabai, Atasi Krisis Air Musim Kemarau
0 menit baca
Maros — Universitas Negeri Makassar (UNM) turun langsung ke lahan pertanian rakyat. Melalui program pengabdian masyarakat, tim dosen dan mahasiswa UNM hadir di Dusun Matanre, Desa Cenrana Baru, Kecamatan Cenrana, untuk menjawab satu masalah klasik petani cabai di musim kemarau: air yang makin sulit, sementara kebutuhan tanaman makin tinggi.
Program ini tidak sekadar sosialisasi. UNM membantu membangun sistem irigasi otomatis sederhana yang membuat proses penyiraman lebih efisien, hemat tenaga, dan lebih terukur berdasarkan kebutuhan tanaman.
Sistem irigasi yang dipasang di lahan petani cabai Dusun Matanre memadukan pompa air dan pengatur otomatis. Aliran air dapat dialirkan langsung ke bedengan tanaman tanpa petani harus mengangkat ember atau menyiram manual dari selokan ke batang tanaman.
Dengan mekanisme otomatisasi ini, air bisa dialirkan secara konsisten dan merata — hal yang selama ini sulit dicapai saat kekeringan.
“Dengan sistem ini, petani tidak perlu lagi menyiram secara manual. Waktunya lebih efisien dan hasil panen meningkat,” jelas Putri Ida Sunaryathy Samad, S.T., M.Si., Ph.D, yang bersama Prof. Dr. H. Karta Jayadi, M.Sn memimpin tim pengabdian.
Keduanya menegaskan, teknologi sederhana tetapi tepat guna seperti ini bertujuan membuat petani lebih mandiri, bukan bergantung pada bantuan sementara. Targetnya: produktivitas cabai tetap terjaga meski kemarau panjang.
Libatkan Mahasiswa: Kampus Turun Sawah, Ilmu Turun Tanah
Program pengabdian ini tidak hanya menyasar peningkatan hasil tani, tapi juga menjadi laboratorium hidup bagi mahasiswa UNM.
Mahasiswa dilibatkan penuh mulai dari:
- survei kebutuhan air di lokasi,
- perencanaan jalur irigasi,
- instalasi pompa dan kontrol otomatis,
- sampai pelatihan teknis kepada para petani tentang cara mengoperasikan dan merawat sistem.
- Mahasiswa belajar langsung di lapangan, menerapkan ilmu keteknikan, perencanaan, dan pendekatan sosial ke masyarakat.
- Petani mendapatkan transfer pengetahuan, bukan hanya alat.
Model ini sejalan dengan mandat perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian — tetapi yang terakhir sering kali paling dirasakan langsung oleh masyarakat desa.
Warga Dusun Matanre menyambut positif inisiatif UNM. Bagi petani cabai lokal, air bukan sekadar faktor pendukung, melainkan faktor hidup-mati tanaman. Ketika musim kemarau datang, biaya tenaga kerja untuk sekadar menyiram bisa naik, sementara daya tahan tanaman menurun.
Karena itu, mereka berharap sistem irigasi sederhana dan murah-rawat ini tidak berhenti di satu lahan percobaan, melainkan bisa direplikasi ke lahan-lahan lain di wilayah Cenrana.
Masyarakat menilai teknologi ini bisa jadi contoh “teknologi tepat guna”: tidak rumit, tidak mahal, bisa dikelola sendiri, tapi dampaknya nyata pada panen.
Lebih dari Sekadar Alat, Ini Soal Ketahanan Pangan Lokal
Cabai adalah komoditas bernilai ekonomi tinggi bagi petani kecil. Fluktuasi produksi di tingkat desa bisa berujung pada naik-turunnya harga di pasar kecamatan hingga pasar kabupaten. Ketika air terjaga, produksi stabil. Ketika produksi stabil, pendapatan petani ikut stabil.
Langkah UNM ini pada akhirnya menyentuh isu yang lebih besar: ketahanan pangan daerah dan kemandirian petani menghadapi perubahan iklim, terutama kemarau yang makin panjang dan tidak menentu.
