Sukma Violetta: Hakim Perlu Kiat Hadapi Tekanan Sosial di Luar Ruang Sidang
JAKARTA – Peningkatan kapasitas hakim bukan hanya soal teknis peradilan, tetapi menyangkut kualitas etika, sensitivitas sosial, dan konsistensi karier. Dalam webinar bertajuk “Peningkatan Kapasitas Hakim: Perbandingan Indonesia-Italia dan Negara-Negara Lain”, Komisi Yudisial (KY) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menyoroti urgensi pembenahan sistemik dalam pelatihan hakim serta sinergi antarlembaga peradilan.
Peneliti Senior LeIP, Astriyani, menggarisbawahi adanya fragmentasi kelembagaan antara Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan berbagai direktorat di lingkungan peradilan. Menurutnya, tumpang tindih peran dan kurangnya kesinambungan antara pelatihan dan jenjang karier hakim melemahkan efektivitas program yang ada.
“Hubungan antara keikutsertaan dan prestasi dalam pelatihan dengan karier hakim belum terbangun secara kokoh,” jelas Astriyani dalam webinar yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube KY, Selasa (3/6/2025).
Astriyani menilai bahwa kurikulum pelatihan masih belum sepenuhnya menyesuaikan dengan kebutuhan tugas yudisial serta kondisi sosial masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini penting, terutama dalam menangani perkara-perkara sensitif seperti kekerasan berbasis gender, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai respon, Anggota KY Sukma Violetta menyampaikan bahwa KY secara aktif menyusun desain pelatihan yang berfokus pada integritas, profesionalisme, dan adaptabilitas hakim terhadap tantangan sosial.
“Kami fokus pada pelatihan Profesionalisme Hakim yang tidak hanya mengasah kemampuan hukum, tetapi juga aspek psikologis dan etis dalam menghadapi perkara kompleks,” ujar Sukma.
Pelatihan Profesionalisme Hakim yang diselenggarakan KY meliputi empat elemen utama:
- Etika Komunikasi Persidangan – Menyasar kemampuan hakim dalam menggali fakta tanpa melukai martabat para pihak, khususnya dalam kasus perempuan dan anak.
- Penalaran Hukum – Menguatkan kemampuan menyusun argumentasi hukum yang tajam dan kontekstual.
- Psikologi Persidangan dan Manajemen Stres – Mengajarkan cara menghadapi tekanan pekerjaan dan dinamika emosi di ruang sidang.
- Kiat Memutus di Situasi Nonhukum – Mempersiapkan hakim menghadapi situasi di luar norma hukum positif, misalnya tekanan sosial atau ancaman.
“Pelatihan ini diberikan oleh kombinasi tenaga pengajar dari kalangan hakim senior, psikolog forensik, dan akademisi yang ahli di bidangnya,” lanjut Sukma.
Webinar ini menjadi ruang reflektif bahwa pembenahan sistem peradilan tidak cukup dengan pelatihan teknis semata. Sinergi antara KY dan MA serta penyusunan kebijakan karier yang meritokratis sangat penting agar pelatihan berdampak nyata dalam peningkatan kualitas hakim.
Astriyani menyarankan perlunya membangun sistem evaluasi lintas-lembaga, yang memastikan bahwa pelatihan bukan hanya formalitas, melainkan bagian dari pengembangan berkelanjutan bagi para hakim.
Peningkatan kapasitas hakim bukan sekadar program, melainkan bagian dari reformasi menyeluruh yang memerlukan koordinasi antarlembaga, dukungan anggaran, dan keberpihakan pada prinsip keadilan substantif. KY, bersama pemangku kepentingan lain, perlu memastikan bahwa pelatihan tidak hanya menjawab kebutuhan hukum hari ini, tetapi juga memperkuat fondasi etis peradilan Indonesia ke depan.